MAKALAH ILMU
SOSIAL BUDAYA DASAR
NEGARA DAN OTONOMI DAERAH
KELOMPOK XII
Disusun Oleh :
Nur Farahiah Amalina
(201110410311098)
Rezky Safawi (201110410311100)
Noor Fatilah (201110410311125)
Mahiru Ulamasyithoh
(201110410311127)
Della Yasmiar (201110410311145)
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara
Indonesia merupakan suatu negara yang sangat
strategis dalam lalu lintas ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki wilayah yang luas dan
penduduknya yang lumayan besar 13.677 pulau bukanlah suatu daerah yang ringan
untuk ditangani ditambah lagi macam ragam budaya yang beraneka. Oleh karena itu
perlu kiranya suatu sistem pengorganisasian yang sistematik dalam pengaturan
wilayah-wilayah dalam ruang lingkup negara kesatuan Republik Indonesia.
Hukum
administrasi negara merupakan hukum secara khusus mengenai seluk beluk
daripada administrasi negara. Untuk sebagian hukum administrasi negara
merupakan pembatasan terhadap pembebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka
yang harus taat kepada pemerintah, akan tetapi untuk sebagian besar hukum
administrasi mengandung arti pula bahwa mereka yang taat kepada pemerintah
menjadi dibebani berbagai kewajiban tugas bagaimana dan sampai dimana batasnya dan
berhubung itu berarti juga bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.
Sejalan
dengan perkembangan zaman hukum administrasi negara yang berfungsi mengatur
sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat dan mengatur
cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian
administrasi negara tersebut tidak lagi dapat memenuhi keinginan rakyat dimana
dalam administrasi negara eksekutiflah yang paling berperan dan
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintah administrasi negara. Dalam
kehidupan kenegaraan peran pihak eksekutif dengan seluruh jenjang dan biro
kratisasinya sangat-sangat besar, sedemikian besarnya sehingga ada kalanya
administrasi negara diidentikkan dengan administrasi pemerintah negara.
Di
era reformasi ini hukum administrasi negara diharapkan benar-benar dapat
memenuhi keinginan rakyat. Menurut UUD 1945 sistem pemerintahan negara Republik
Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah disamping harus menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat, potensi dan keanekaragaman daerah
seyogyanya disertai pula dengan berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu meliputi:
1. Asas kejujuran
2. Asas kecermatan
3. Asas kemurnian dalam tujuan
4. Asas keseimbangan
5. Asas kepastian hukum
Otonomi daerah adalah suatu
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah
kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan
MPR RI Nomor XV/MPR/1998.
Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan
desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan, perlu diatur
perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas dan tanggung jawab
yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada undang-undang nomor
32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara dengan daerah-daerah
yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU no. 32 tahun 1956
sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung otonomi daerah yang
telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU No. 25 tahun 1999.
B.
Perumusan
Masalah
Terkait dengan pengelolaan program
dan proyek pembangunan yang ada di daerah, maka prinsip-prinsip demokrasi
mendorong peran serta masyarakat dan transparansi serta mengedepankan
pemerataan dan keadilan dalam melaksanakan otonomi daerah menjadi sangat
strategis. Artinya, peran masyarakat di daerah menjadi faktor utama di dalam
proses pembangunan karena lebih banyak berfungsi sebagai “subyek” ketimbang
sebagai “obyek”.
Banyak program dan proyek yang ada
di daerah dengan biaya yang sangat besar dirumuskan, dilaksanakan, dan diawasi
oleh pusat sedangkan daerah hanya sekedar dilihat sebagai tempat (lokasi) dari
proyek tersebut sehingga daerah tidak diberi kesempatan untuk mengolah sendiri
sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Dengan otonomi daerah diharapkan
dapat mendorong masyarakat daerah berperan aktif dalam pemanfaatan sumber daya
yang ada serta pengontrol bagi pejabat daerah dalam mengatur proyek pembangunan
daerah.
Godaan untuk melakukan sentralisasi
dengan asumsi bahwa daerah mempunyai kemampuan yang terbatas sehingga pemusatan
kekuasaan merupakan satu-satunya jalan pengamanan terbaik perlu segera
dihindari. Apalagi jika pembangunan diartikan sekedar sebagai redistribusi
kekuasaan dan sumber daya dan mengasumsikan bahwa hanya otoritas yang mempunyai
landasan luaslah yang mampu melaksanakan perubahan dengan hasil baik.
Sehingga dapat kita rumuskan dari
uraian diatas adalah: “sejauh mana kemampuan profesionalisme dan kuatnya
ide-ide praktis dari pejabat daerah untuk mencapai administratif dan ekonomis
dalam pelaksanaan otonomi daerah.
C.
Kerangka Teori
Hal-hal yang akan kita bahas
meliputi beberapa hal yaitu, meliputi:
1. Kesiapan daerah dalam menghadapi era
otonomi
2. Ketimpangan yang harus dihadapi pada
era otonomi
3. Upaya pejabat daerah dalam
menghadapi ketimpangan yang terjadi
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Otonomi
atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan, otonomi dalam
pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its
actual independence. Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni legal
self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan
politik atau pemerintahan dan otonomi daerah berarti self government atau
the condition of living under one’s own laws. Jadi otonomi daerah adalah
daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self
government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi
lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi. Koesoemahatmadja (Rozali
Abduilah, 2003: 9) berpendapat ”Menurut perkembangan sejarah di Indonesia
otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling), juga mengandung
arti pemerintahan (bestuur).”
Dalam literatur Belanda otonomi
berart i”pemerintahan sendiri” (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven
(Rozati Abdullah, 2003: 9) dibagi atas zelfwetgeving (membuat
Undang-undang sendiri), zelfitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak
(mengadili sendiri) dan zelfpolftie (menindaki sendiri).
Pengertian otonomi dengan pemaknaan
yang lebih terbatas dan etimologinya, yaitu kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah
wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Adapun pengertian otonomi daerah
menurut Logeman (dalam Rozali Abdullah, 2003:10) menyatakan bahwa “Otonomi
adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan
keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.”
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang
Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan daerah, menghendaki pembagian
wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya
dibentuk dengan undang-undang. Soepomo mengemukakan (Rozali Abdullah, 2000:11)
bahwa “Otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional
menurut riwayat, adat dan sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan.
Tiap daerah mempunyai histories dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat
dan sifat dari daerah lain.” Syarifuddin (1983:23) mengemukakan “Otonomi
bermakna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Didalamnya
terkandung 2 aspek utama. Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk
menyelesaikan suatu utusan kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk
memikirkan dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut,”
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku ( Pasal 1 huruf C Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999, yang dimaksud dengan Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Sedangkan yang dimaksud dengan
Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, yang dimaksud daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang
dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan otonomi daerah. Hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai akibat dari pelaksanaan
desentralisasi, timbullah daerah-daerah otonom. Mula-mula otonom atau
berotonomi berarti mempunyai peraturan sendiri atau mempunyai hak/ kekuasaan/
kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga disebut hak/
kekuasaan/ kewenangan pengaturan atau legislatif sendiri). Kemudian arti
istilah otonomi ini berkembang menjadi “Pemerintahan sendiri”. Pemerintah
sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan
sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri.
Dengan demikian daerah otonom adalah daerah yang berhak dan berkewajiban untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, (Josef Riwu Kaho).
B.
Kesiapan
Daerah dalam Menghadapi Era Otonomi
Sebelumnya otonomi daerah telah
dipraktikkan sejak dekade 50-an. Namun pada waktu itu tujuan politis dari
desentralisasi lebih diutamakan dibandingkan dengan tujuan administratif atau
ekonomi misalnya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan pejabat daerah pada
waktu itu kurang mempunyai kemampuan (skill) untuk mencapai tujuan-tujuan
administratif dan ekonomis dari keberadaan pemerintah
tersebut. Jadi otonomi dimaksudkan oleh pusat sebagai strategi untuk mengikat
daerah agar tidak menunjukkan resistensi untuk keluar dari negara kesatuan RI. Wujud dari kesiapan daerah dalam
menghadapi era otonomi adalah :
a. Kemampuan dalam menggali PAD guna
memenuhi kebutuhan sendiri.
b. Subsidi
Pengalaman empirik selama ini
menunjukkan bahwa pihak daerah cenderung bermanja terhadap pihak pusat. Ini
tampak dari besarnya peningkatan anggaran dari pusat yang dikucurkan bagi
darah. Pada tahun 1969/1970 pusat mengalokasikan dana Rp 334 miliar bagi
daerah. Sebelas tahun berikutnya jumlah itu meningkat menjadi Rp 11.634 miliar
(1980/1981) atau naik rata-rata 38 persen per tahun.
Akan tetapi kenaikan bantuan dari
pusat ternyata tidak diimbangi oleh kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
terhadap pengeluaran daerahnya. Oleh karena itu daerah harus siap dengan
berbagai terobosan untuk mengatasi masalah penurunan PAD tentunya penggalian
PAD harus dilakukan dalam para digma dan rasionalitas tertentu agar tidak
justru menjadi kontraproduktif.
Kemampuan pusat untuk memberikan
subsidi bagi daerah pun bukannya tak terbatas. Karena besaran subsidi daerah
otonomi selalu berfluktuasi tergantung pada kemampuan anggaran pemerintah
pusat. Ketika pemerintah mulai sulit mengucurkan subsidi
untuk daerah otonomi, seharusnya dapat diantisipasi oleh daerah.
C.
Ketimpangan Yang Harus Dihadapi Pada Era
Otonomi
Artikulasi otonomi daerah kepada
aspek-aspek Finansial belaka tanpa pemahaman substantive yang cukup terhadap
hakikat otonomi itu sendiri dapat menjadi boomerang baik bagi pusat maupun bagi
daerah. Maka terdapat ketimpangan-ketimpangan atau titik rawan keberhasilan
implementasi kebijakan otonomi
1. High Cost Economic dalam bentuk
pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi
“Anarkisme Financial”
2. High Cost Economic dalam bentuk KKN
3. Orientasi Pemda pada Cash Inflow,
bukan pendapatan
4. Pemda bisa menjadi “drakula” bagi
anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya.
Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui katebetje
penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
5. Karena terfokus pada penerimaan dana
Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
6. Munculnya hambatan bagi mobilitas
sumber daya
7. Potensi konflik antar daerah
menyangkut pembagian hasil pungutan
8. Bangkitnya egosentrisme
9. Karena derajat keberhasilan otonomi
lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan
misi dan visi otonomi sebenarnya.
10. Munculnya bentuk hubungan kolutif
antara eksekutif dan legislatif di daerah.
D.
Upaya
Pejabat Daerah Dalam Mengatasi Ketimpangan yang Terjadi
Seperti halnya kita pernah
menggebu-gebu menyongsong era globalisasi dan liberalisasi, otonomi daerah
diterima daerah dengan antusiasme serupa. Diberbagai daerah, “daemam otonomi
melanda”. Respon terhadap UU no. 22/1999 berikut petunjuk pelaksanaannya, akan
tetapi ada perbedaan pendapat terhadap otonomi daerah. Pihak yang sumber
dayanya melipah optimis terhadap adanya otonomi daerah yang minus sumber daya
pesimis dengan diterapkannya kebijakan otonomi.
Dibalik antusiasme daerah, terdapat
juga anggapan yang penuh kepercayaan diri bahwa daerah memiliki kemampuan yang
tidak kalah dibandingkan pusat, tetapi fakta menunjukkan bahwa sebagian besar
SDM berkualitas yang berasal dari daerah berada di pusat, sebab di pusat
terdapat kebijakan yang dirancang dan diputuskan di pusat.
Dari hal-hal diatas muncul berbagai
ketimpangan akibat otonomi di daerah. Oleh karena itu pejabat daerah harus
memiliki kemampuan yang lebih untuk mengatasinya. Adapun upaya yang harus
dilakukan pejabat daerah yaitu
1. Pejabat harus dapat melakukan
kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke
daerah
2. Pejabat harus melakukan pemberdayaan
politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan
organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3.
Pejabat
daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur
4. Adanya kerjasama antara pejabat dan
masyarakat
5. Dan yang menjadi prioritas adalah
pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip otonomi daerah.
Adapun prinsip-prinsip pemberian
otonomi daerah adalah:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta
potensi dan keanekaragaman daerah
2. Pelaksanaan otonomi daerah
didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang
luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota sedang pada
daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus
sesuai dengan konstitusi negara
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus
lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus
lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi
diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai daerah administrasi
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan
dari pemerintah dan daerah ke desa disertai pembiayaan sarana dan prasarana
serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan bertanggung jawab kepada yang
menugaskan
2.4. Kemampuan Pejabat Daerah Dalam
mengatur Perimbangan Keuangan Daerah Dengan Pusat
Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di
daerah. Kewenangan tersebut secara profesional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut perlu memperhatikan
kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal agama, serta kewajiban
pengembalian pinjaman pemerintah pusat.[1]
Agar pelaksanaan perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat terlaksana maka
pemerintah daerah perlu memperhatikan sumber-sumber penerimaan daerah serta
pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Adapun sumber penerimaan daerah
meliputi:
- Pendapatan asli daerah
- Dana pembangunan
- Pinjaman daerah
- Lain-lain penerimaan yang syah
Pendapatan asli daerah meliputi
pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan sedangkan dana perimbangan terdiri dari bagian daerah dari
penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan,
penerimaan dari sumber daya alam, dana alokasi umum, dana alokasi khusus.
Adapun perimbangan ditetapkan
sebagai berikut:
- Penerimaan negara dari pajak bumi
dan bangunan dibagi imbang 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk pemerintah
daerah.
- Penerimaan negara dari bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbang 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk pemerintah daerah.
- 10% dari penerimaan PBB dan 20%
dari penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan menjadi bagian dari
pemerintah pusat dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
- Penerimaan negara dari
pertambangan minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak sesuai yang berlaku
85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah.
- Penerimaan gas alam 70% untuk
pemerintah pusat dan 30% untuk pemerintah daerah.
Mengenai tentang pinjaman daerah
terdapat ketentuan bahwa daerah tidak dapat melakukan pinjaman tanpa
persetujuan dari DPRD serta tidak boleh melakukan pinjaman melampaui batas yang
ditentukan dan daerah dilarang melakukan pinjaman.
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Pemberian otonomi daerah
dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan baik yang terjadi di dalam negara
maupun di luar negara.
2. pemberian subsidi yang tak terbatas
dari pusat mengakibatkan daerah malas dan selalu bermanja kepada pusat sehingga
terjadi penurunan pendapatan daerah.
3. artikulasi otonomi daerah kepada
aspek-aspek finansial belaka tanpa pemahaman substantive yang cukup terhadap
hakikat otonomi itu sendiri dapat menjadi boomerang baik bagi pusat maupun bagi
daerah.
4. kebutuhan pembiayaan diperlukan
bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
3.2. Saran-saran
Upaya yang didapat dilakukan pejabat
daerah agar dapat membangun wilayah secara mandiri dapat dilakukan melalui
beberapa alternatif optimalisasi aset dan sumber daya yaitu penggalian
pendapatan asli daerah yang dapat di peroleh dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, pinjaman daerah, lain-lain penerimaan yang sah (Dana Darurat;
penerimaan lainnya).
Pemerintah pusat seyogyanya secara
ketat mewajibkan daerah untuk mensosialisasikan setiap peraturan di level
daerah agar sebanyak mungkin diketahui oleh masyarakat. Peran serta masyarakat
lebih diutamakan dalam format yang demokratis.
Peningkatan kinerja pejabat daerah
berdasarkan asas profesional dan integritas yang tinggi serta diperlukannya
reorientasi paradigma.
DAFTAR PUSTAKA
Indra
Lesmana, “Ranjau-Ranjau Otonomi Daerah”, Pondok Edukasi, Solo, 2002.
Bachsan Mustafa, SH., “Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara”, Alumni, Bandung, 1985.
Philipus M. Hadzon, R. Sri
Soemantri, Bagir Manan, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, Gajah Mada
Universitas Press, Yogyakarta, 1995.
[1] Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebagaimana dijelaskan dalam
UU No. 25 tahun 1999. (Indra Lesmana, Ranjau-ranjau Otonomi daerah, Padat
Edukasi 2003, hal 86).