Sabtu, 28 Maret 2015

Makalah Ilmu Sosial Budaya



                                         MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR
                                               NEGARA DAN OTONOMI DAERAH 
                                                             KELOMPOK XII




Disusun Oleh :
             Nur Farahiah Amalina        (201110410311098)
             Rezky Safawi                        (201110410311100)
             Noor Fatilah                          (201110410311125)
             Mahiru Ulamasyithoh         (201110410311127)
             Della Yasmiar                        (201110410311145)


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan suatu negara yang sangat strategis dalam lalu lintas ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki wilayah yang luas dan penduduknya yang lumayan besar 13.677 pulau bukanlah suatu daerah yang ringan untuk ditangani ditambah lagi macam ragam budaya yang beraneka. Oleh karena itu perlu kiranya suatu sistem pengorganisasian yang sistematik dalam pengaturan wilayah-wilayah dalam ruang lingkup negara kesatuan Republik Indonesia.
Hukum administrasi negara merupakan hukum secara khusus mengenai seluk beluk daripada administrasi negara. Untuk sebagian hukum administrasi negara merupakan pembatasan terhadap pembebasan pemerintah, jadi merupakan jaminan bagi mereka yang harus taat kepada pemerintah, akan tetapi untuk sebagian besar hukum administrasi mengandung arti pula bahwa mereka yang taat kepada pemerintah menjadi dibebani berbagai kewajiban tugas bagaimana dan sampai dimana batasnya dan berhubung itu berarti juga bahwa wewenang pemerintah menjadi luas dan tegas.
Sejalan dengan perkembangan zaman hukum administrasi negara yang berfungsi mengatur sarana bagi penguasa untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat dan mengatur cara-cara partisipasi warga negara dalam proses pengaturan dan pengendalian administrasi negara tersebut tidak lagi dapat memenuhi keinginan rakyat dimana dalam administrasi negara eksekutiflah yang paling berperan dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemerintah administrasi negara. Dalam kehidupan kenegaraan peran pihak eksekutif dengan seluruh jenjang dan biro kratisasinya sangat-sangat besar, sedemikian besarnya sehingga ada kalanya administrasi negara diidentikkan dengan administrasi pemerintah negara.
Di era reformasi ini hukum administrasi negara diharapkan benar-benar dapat memenuhi keinginan rakyat. Menurut UUD 1945 sistem pemerintahan negara Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah disamping harus menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta masyarakat, potensi dan keanekaragaman daerah seyogyanya disertai pula dengan berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik itu meliputi:
1.      Asas kejujuran
2.      Asas kecermatan
3.      Asas kemurnian dalam tujuan
4.      Asas keseimbangan
5.      Asas kepastian hukum
Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintah kewenangan tersebut diberikan secara profesional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan-perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998.
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pembiayaan berdasarkan desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan yang diatur berdasarkan pembina tugas dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Sebelumnya memang ada undang-undang nomor 32 tahun 1956 tentang perimbangan keuangan antar negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Akan tetapi UU no. 32 tahun 1956 sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan dalam mendukung otonomi daerah yang telah berkembang pesat. Oleh karena itu dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengaturnya yang terwujud dalam UU No. 25 tahun 1999.

B.     Perumusan Masalah
Terkait dengan pengelolaan program dan proyek pembangunan yang ada di daerah, maka prinsip-prinsip demokrasi mendorong peran serta masyarakat dan transparansi serta mengedepankan pemerataan dan keadilan dalam melaksanakan otonomi daerah menjadi sangat strategis. Artinya, peran masyarakat di daerah menjadi faktor utama di dalam proses pembangunan karena lebih banyak berfungsi sebagai “subyek” ketimbang sebagai “obyek”.
Banyak program dan proyek yang ada di daerah dengan biaya yang sangat besar dirumuskan, dilaksanakan, dan diawasi oleh pusat sedangkan daerah hanya sekedar dilihat sebagai tempat (lokasi) dari proyek tersebut sehingga daerah tidak diberi kesempatan untuk mengolah sendiri sumber daya yang ada di daerah tersebut.
Dengan otonomi daerah diharapkan dapat mendorong masyarakat daerah berperan aktif dalam pemanfaatan sumber daya yang ada serta pengontrol bagi pejabat daerah dalam mengatur proyek pembangunan daerah.
Godaan untuk melakukan sentralisasi dengan asumsi bahwa daerah mempunyai kemampuan yang terbatas sehingga pemusatan kekuasaan merupakan satu-satunya jalan pengamanan terbaik perlu segera dihindari. Apalagi jika pembangunan diartikan sekedar sebagai redistribusi kekuasaan dan sumber daya dan mengasumsikan bahwa hanya otoritas yang mempunyai landasan luaslah yang mampu melaksanakan perubahan dengan hasil baik.
Sehingga dapat kita rumuskan dari uraian diatas adalah: “sejauh mana kemampuan profesionalisme dan kuatnya ide-ide praktis dari pejabat daerah untuk mencapai administratif dan ekonomis dalam pelaksanaan otonomi daerah.
C.      Kerangka Teori
Hal-hal yang akan kita bahas meliputi beberapa hal yaitu, meliputi:
1.    Kesiapan daerah dalam menghadapi era otonomi
2.    Ketimpangan yang harus dihadapi pada era otonomi
3.    Upaya pejabat daerah dalam menghadapi ketimpangan yang terjadi
4.    Kemampuan pejabat daerah dalam mengatur perimbangan keuangan daerah dengan keuangan pusat





BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri dan nomous yang berarti hukum atau peraturan, otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Jadi ada 2 ciri hakikat dari otonomi yakni legal self sufficiency dan actual independence. Dalam kaitannya dengan politik atau pemerintahan dan otonomi daerah berarti self government atau the condition of living under one’s own laws. Jadi otonomi daerah adalah daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self government yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi lebih menitik beratkan pada aspirasi daripada kondisi. Koesoemahatmadja (Rozali Abduilah, 2003: 9) berpendapat  ”Menurut perkembangan sejarah di Indonesia otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling), juga mengandung arti pemerintahan (bestuur).”
Dalam literatur Belanda otonomi berart i”pemerintahan sendiri” (zelfregering) yang oleh Van Vollenhoven (Rozati Abdullah, 2003: 9) dibagi atas zelfwetgeving (membuat Undang-undang sendiri), zelfitvoering (melaksanakan sendiri), zelfrechtspraak (mengadili sendiri) dan zelfpolftie (menindaki sendiri).
Pengertian otonomi dengan pemaknaan yang lebih terbatas dan etimologinya, yaitu kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Namun kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Adapun pengertian otonomi daerah menurut Logeman (dalam Rozali Abdullah, 2003:10) menyatakan bahwa “Otonomi adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.”
Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan dasar hukum pembentukan daerah, menghendaki pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya dibentuk dengan undang-undang. Soepomo mengemukakan (Rozali Abdullah, 2000:11) bahwa “Otonomi daerah sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut riwayat, adat dan sifat sendiri-sendiri, dalam kadar negara kesatuan. Tiap daerah mempunyai histories dan sifat khusus yang berlainan dari riwayat dan sifat dari daerah lain.” Syarifuddin (1983:23) mengemukakan “Otonomi bermakna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Didalamnya terkandung 2 aspek utama. Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu utusan kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut,”
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 1 huruf C Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, yang dimaksud dengan Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Sedangkan yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, yang dimaksud daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa  sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan otonomi daerah. Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi, timbullah daerah-daerah otonom. Mula-mula otonom atau berotonomi berarti mempunyai peraturan sendiri atau mempunyai hak/ kekuasaan/ kewenangan untuk membuat peraturan sendiri (seringkali juga disebut hak/ kekuasaan/ kewenangan pengaturan atau legislatif sendiri). Kemudian arti istilah otonomi ini berkembang menjadi “Pemerintahan sendiri”. Pemerintah sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri. Dengan demikian daerah otonom adalah daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, (Josef Riwu Kaho).




B.   Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Era Otonomi
Sebelumnya otonomi daerah telah dipraktikkan sejak dekade 50-an. Namun pada waktu itu tujuan politis dari desentralisasi lebih diutamakan dibandingkan dengan tujuan administratif atau ekonomi misalnya. Hal ini disebabkan karena kebanyakan pejabat daerah pada waktu itu kurang mempunyai kemampuan (skill) untuk mencapai tujuan-tujuan administratif dan ekonomis dari keberadaan pemerintah tersebut. Jadi otonomi dimaksudkan oleh pusat sebagai strategi untuk mengikat daerah agar tidak menunjukkan resistensi untuk keluar dari negara kesatuan RI. Wujud dari kesiapan daerah dalam menghadapi era otonomi adalah :
a.    Kemampuan dalam menggali PAD guna memenuhi kebutuhan sendiri.
b.    Subsidi
Pengalaman empirik selama ini menunjukkan bahwa pihak daerah cenderung bermanja terhadap pihak pusat. Ini tampak dari besarnya peningkatan anggaran dari pusat yang dikucurkan bagi darah. Pada tahun 1969/1970 pusat mengalokasikan dana Rp 334 miliar bagi daerah. Sebelas tahun berikutnya jumlah itu meningkat menjadi Rp 11.634 miliar (1980/1981) atau naik rata-rata 38 persen per tahun.
Akan tetapi kenaikan bantuan dari pusat ternyata tidak diimbangi oleh kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pengeluaran daerahnya. Oleh karena itu daerah harus siap dengan berbagai terobosan untuk mengatasi masalah penurunan PAD tentunya penggalian PAD harus dilakukan dalam para digma dan rasionalitas tertentu agar tidak justru menjadi kontraproduktif.
Kemampuan pusat untuk memberikan subsidi bagi daerah pun bukannya tak terbatas. Karena besaran subsidi daerah otonomi selalu berfluktuasi tergantung pada kemampuan anggaran pemerintah pusat. Ketika pemerintah mulai sulit mengucurkan subsidi untuk daerah otonomi, seharusnya dapat diantisipasi oleh daerah.
C.    Ketimpangan Yang Harus Dihadapi Pada Era Otonomi
Artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek Finansial belaka tanpa pemahaman substantive yang cukup terhadap hakikat otonomi itu sendiri dapat menjadi boomerang baik bagi pusat maupun bagi daerah. Maka terdapat ketimpangan-ketimpangan atau titik rawan keberhasilan implementasi kebijakan otonomi
1.      High Cost Economic dalam bentuk pungutan-pungutan yang membabi buta. Otonomi daerah dapat berubah sifat menjadi “Anarkisme Financial”
2.      High Cost Economic dalam bentuk KKN
3.      Orientasi Pemda pada Cash Inflow, bukan pendapatan
4.      Pemda bisa menjadi “drakula” bagi anak-anak mereka sendiri yaitu BUMD-BUMD yang berada dibawah naungannya. Modusnya bisa jadi bukan melalui penjualan aset, melainkan melalui katebetje penguasa daerah yang sulit ditolak oleh jajaran pimpinan BUMD
5.      Karena terfokus pada penerimaan dana Pemda bisa melupakan kriteria pembuktian berkelanjutan
6.      Munculnya hambatan bagi mobilitas sumber daya
7.      Potensi konflik antar daerah menyangkut pembagian hasil pungutan
8.      Bangkitnya egosentrisme
9.      Karena derajat keberhasilan otonomi lebih dilandaskan pada aspek-aspek finansial pemerintah daerah bisa melupakan misi dan visi otonomi sebenarnya.
10.   Munculnya bentuk hubungan kolutif antara eksekutif dan legislatif di daerah.

D.     Upaya Pejabat Daerah Dalam Mengatasi Ketimpangan yang Terjadi
Seperti halnya kita pernah menggebu-gebu menyongsong era globalisasi dan liberalisasi, otonomi daerah diterima daerah dengan antusiasme serupa. Diberbagai daerah, “daemam otonomi melanda”. Respon terhadap UU no. 22/1999 berikut petunjuk pelaksanaannya, akan tetapi ada perbedaan pendapat terhadap otonomi daerah. Pihak yang sumber dayanya melipah optimis terhadap adanya otonomi daerah yang minus sumber daya pesimis dengan diterapkannya kebijakan otonomi.
Dibalik antusiasme daerah, terdapat juga anggapan yang penuh kepercayaan diri bahwa daerah memiliki kemampuan yang tidak kalah dibandingkan pusat, tetapi fakta menunjukkan bahwa sebagian besar SDM berkualitas yang berasal dari daerah berada di pusat, sebab di pusat terdapat kebijakan yang dirancang dan diputuskan di pusat.
Dari hal-hal diatas muncul berbagai ketimpangan akibat otonomi di daerah. Oleh karena itu pejabat daerah harus memiliki kemampuan yang lebih untuk mengatasinya. Adapun upaya yang harus dilakukan pejabat daerah yaitu
1.    Pejabat harus dapat melakukan kebijakan tertentu sehingga SDM yang berada di pusat dapat terdistribusi ke daerah
2.    Pejabat harus melakukan pemberdayaan politik warga masyarakat dilakukan melalui pendidikan politik dan keberadaan organisasi swadaya masyarakat, media massa dan lainnya.
3.        Pejabat daerah harus bisa bertanggung jawab dan jujur
4.    Adanya kerjasama antara pejabat dan masyarakat
5.    Dan yang menjadi prioritas adalah pejabat daerah harus bisa memahami prinsip-prinsip otonomi daerah.
Adapun prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah adalah:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih mengikatkan kemandirian daerah otonomi
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai daerah administrasi
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dari pemerintah dan daerah ke desa disertai pembiayaan sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan dan bertanggung jawab kepada yang menugaskan
2.4. Kemampuan Pejabat Daerah Dalam mengatur Perimbangan Keuangan Daerah Dengan Pusat
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah. Kewenangan tersebut secara profesional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah tersebut perlu memperhatikan kebutuhan pembiayaan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, antara lain pembiayaan bagi politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, pengelolaan moneter dan fiskal agama, serta kewajiban pengembalian pinjaman pemerintah pusat.[1]
Agar pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat terlaksana maka pemerintah daerah perlu memperhatikan sumber-sumber penerimaan daerah serta pengelolaan dan pengawasan keuangannya. Adapun sumber penerimaan daerah meliputi:
    1. Pendapatan asli daerah
    2. Dana pembangunan
    3. Pinjaman daerah
    4. Lain-lain penerimaan yang syah
Pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sedangkan dana perimbangan terdiri dari bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, penerimaan dari sumber daya alam, dana alokasi umum, dana alokasi khusus.
Adapun perimbangan ditetapkan sebagai berikut:
- Penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi imbang 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk pemerintah daerah.
- Penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbang 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk pemerintah daerah.
- 10% dari penerimaan PBB dan 20% dari penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan menjadi bagian dari pemerintah pusat dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
- Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi setelah dikurangi komponen pajak sesuai yang berlaku 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk pemerintah daerah.
- Penerimaan gas alam 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk pemerintah daerah.
Mengenai tentang pinjaman daerah terdapat ketentuan bahwa daerah tidak dapat melakukan pinjaman tanpa persetujuan dari DPRD serta tidak boleh melakukan pinjaman melampaui batas yang ditentukan dan daerah dilarang melakukan pinjaman.

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Pemberian otonomi daerah dipandang perlu dalam menghadapi perkembangan baik yang terjadi di dalam negara maupun di luar negara.
2. pemberian subsidi yang tak terbatas dari pusat mengakibatkan daerah malas dan selalu bermanja kepada pusat sehingga terjadi penurunan pendapatan daerah.
3. artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial belaka tanpa pemahaman substantive yang cukup terhadap hakikat otonomi itu sendiri dapat menjadi boomerang baik bagi pusat maupun bagi daerah.
4. kebutuhan pembiayaan diperlukan bagi pelaksanaan kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
3.2. Saran-saran
Upaya yang didapat dilakukan pejabat daerah agar dapat membangun wilayah secara mandiri dapat dilakukan melalui beberapa alternatif optimalisasi aset dan sumber daya yaitu penggalian pendapatan asli daerah yang dapat di peroleh dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, lain-lain penerimaan yang sah (Dana Darurat; penerimaan lainnya).
Pemerintah pusat seyogyanya secara ketat mewajibkan daerah untuk mensosialisasikan setiap peraturan di level daerah agar sebanyak mungkin diketahui oleh masyarakat. Peran serta masyarakat lebih diutamakan dalam format yang demokratis.
Peningkatan kinerja pejabat daerah berdasarkan asas profesional dan integritas yang tinggi serta diperlukannya reorientasi paradigma.

DAFTAR PUSTAKA
Indra Lesmana, “Ranjau-Ranjau Otonomi Daerah”, Pondok Edukasi, Solo, 2002.
Bachsan Mustafa, SH., “Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara”, Alumni, Bandung, 1985.
Philipus M. Hadzon, R. Sri Soemantri, Bagir Manan, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, 1995.


[1] Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 25 tahun 1999. (Indra Lesmana, Ranjau-ranjau Otonomi daerah, Padat Edukasi 2003, hal 86).


0 komentar:

Posting Komentar